Sumatra Utara adalah salah satu Provinsi yang didiami oleh suku bangsa
majemuk atau heterogen. Sedikitnya ada 9 etnis yang mendiami daerah ini, yaitu:
Melayu, Mandailing, Karo, Pak-Pak/Dairi, Nias, Jawa, Tamil, Toba, dan suku
bangsa lain yang sudah lama tinggal di Sumatra Utara. Keanekaragaman ini membuat Sumatra Utara kaya akan
Budaya dan Adat Istiadat dari setiap etnis ini.
Seperti kita tahu Sumatra
Utara di tempati oleh multi-etnik, tentunya hal-hal ini berpengaruh pada
jenis-jenis kesenian yang dimilikinya. Masing-masing etnis tetap mampertahankan
keseniannya masing-masing. Walaupun terjadi persentuhan budaya, tetapi kita
dapat membedakan jenis-jenis kesenian ini dari gaya, bentuk, melodi-melodinya.
Walaupun Toba, Pak-pak, Karo, Mandailing,
termasuk kedalam suku Batak, tetapi kebudayaan musikal mereka sangat berbeda
sekali.
Oleh karna itu dalam tulisan
ini saya akan memperjelas perbedaan antara kebudayaan-kebudayaan ini, khususnya
antara Musik Tradisional Toba, dan Pak-Pak/Dairi. Kami akan membahas
jenis-jenis ansambel yang digunakan pada setiap etnisnya danjenis-jenis alat
musik yang digunakan.
Musik Batak Toba
Karya Musik Vokal Batak Toba
Dalam peradabannya musik
tradisional Batak Toba memiliki 6 macam bentuk karya musik vokal,yakni: Joting,
Tumbas, Andung, Oing, Dideng-Didang-Doding dan Ende.
Joting
Joting adalah seni suara
dengan syair beraturan dipadukan dan gerak yang seragam. Permainan joting
biasanya ramai pada saat bulan purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan
joting seorang bernyanyi dan diiringi dengan irama koor kelompok sehingga
teerdengar seperti suara gendang dan gong seperti “toh…tohhh,joing
dagido….doh….doh….”. Kadang diselingi dengan kata “jolo ingot asa dok”.
Pada joting remaja biasanya
terbagi dalam dua kelompok,laki-laki dan perempuan. Kedua kelompok ini
menyesuaikan irama dan gerak dengan syair yang berisi pujian, sanjungan, ejekan,
sindiran dari kedua kelompok. Ada upaya mengalahkan dalam permainan ini dalam
penguasaan syair yang berbalasan.Joting ini juga disebut “Maralo-alo”.
Permainan joting, baik
untuk generasi muda tidak bisa dilakukan dilakukan diluar halaman perkampungan,
sehingga para orangtua ikut menyaksikan dari samping rumah masing-masing. Walau
ada kalimat ejekan dan sindiran, tapi tidak bertujuan menghina dan merendahkan
pihak lawan. Inti joting generasi muda adalah merayu dan mengajak pertemanan.
Pada daerah pesisir Danau
Toba ada juga dikenal Joting Sulu Bolon.Joting ini dimainkan saat mendayung
sampan besar yang berisi sekitar 12 orang. Seorang bernyanyi dan semua pengayuh
menymbutnya dengan suara “olo baaaa”sambil mengayunkan dayungnya. Dengan joting
ini mereka dapat mengesampingkan rasa lelah dan membangun kekompakkan.
Joting yang dimainkan para
orangtua dan Joting Solu Bolon biasanya menggunakan syair menyambung hingga
merupakan cerita kehidupan.Syair ini disebut “sidedeng”. Ada syair pembuka
joting ini berkata :
“Tabo-tabo nin ulok da
angkup ni dulang natata
Hatahon ma sededeng da
nunga dampak angka raja.”
Sidedeng dalam Joting Solu
Bolon dibawah ini adalah nyanyian “parluga” dari Pangururan menuju Tigaraja
yang ditempuh hampir 5 jam.Kadang mereka berhenti melepas lelah di beberapa
tempat seperti di Hatoguan dan Onanrunggu.Semua riwayat perjalanan mereka itu
dinyanyikan dengan joting saat mendayung sampan.Kadang mereka menyanyikannya di
halaman rumah pada bulan purnama untuk mengenang perjalanan mereka itu.
Nilugahon solu bolon Huhut
marsisungkunan
Solu parsampulan Padomuhon
Ta hi
Manopinopi
dolok Mangalului
hangoluan
Sian tao ni Pangururan Nangnang
ma manghatai
Binolus ma Simbolon dst…
Sahat ma disi
Huhut ma marnapuran
Tumbas
Joting pada umumnya
dimainkan dengan duduk berkeliling dan bergantian pelantun lagu berdiri untuk
bernyanyi. Tumbas mirip dengan joting tapi semua pemainnya berdiri dan menari
bergerak seragam sambil bernyanyi. Gerakan mereka didominasikan gerakan tortor,
tapi ada kombinasi hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan
kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan nyanyian ini
disebut TUMBAS sementara syair lagunya ada kata “tumba”. ”Tumba” adalah
syairnya,”Embas” adalah gerakannya. Dalam permainan ini semakin berkembang
kreasi “maralo-alo” dari joting dengan versi gerakan yang mengiringi syairnya
yang berbalasan antara laki-laki dan perempuan.
Semakin lama permainan ini
dipengaruhi dengan gerakan tari Melayu pada daerah perbatasan Toba dengan
Sipirok. Mereka pun mulai dengan memadukan nyanyian melayu dalam permainan itu.
Semakin lama mereka mempopulerkan permainan itu dengan sebutan TUMBA saja
karena “embas” tortor batak semakin dihilangkan dan didominasi “joget” melayu.Dalam
Tumba saat ini tidak ada lagi terlihat kesan Joting dan Tumbas yang dulunya
sangat terkenal dengan berbalas pantun dalam nyanyian atau “maralo-alo”.
Andung
Andung adalah ratatapan. Barang
tentu nuansanya adalah kesedihan. ”Tangis”dapat saja dengan mencucurkan air
mata dengan iringan kata-kata yang bebas.”Angguk” adalah ratapan yang bernuansa
histeris. Bila tangisannya diiringi dengan suara yang menggelegar dengan
hempasan tubuh sembarangan disebut ”Angguk Bobar”
Andung sangat berbeda
dengan kedua tangisan itu.Andung dapat membuat orang yang mendengarnya terpana,
terpesona, terpancing untuk meneteskan air mata. Pengandung yang lihai biasanya
menutupi kepalanya dengan ulos sehingga tidak dapat diketahui mimik wajahnya
ataupun kemungkinannya meneteskan air mata. Walau tidak terikat dengan syair
yang beraturan,bahasa andung sangat spesial dan jarang diucapkan dalam bahasa
sehari-hari. Andung adalah perpaduan Tangis,Oing dengan sisipan “anggis” berupa
jeritan suara sebagai sela antara kalimat andung.
Oing
Oing mirip dengan nyanyian
sinden Jawa. Namun oing ini kebanyakan mengutarakan suka-duka dan pengharapan. Biasanya
dinyanyikan perlahan dan dalam kesendirian. Saya pernah mendengar nenek saya
“maroing” pada tengah malam sambil “manirat” ulos. ”Ompung Doli” saya dari ibu
pernah juga saya dengar “maroing” saat merajut “hirang” (keranjang). Oing mirip
dengan andung tapi tonenya agak rendah. Oing sering menjadi selipan pada seni
”marturiturian” (bercerita).
Dideng-Didang-Doding
“Dideng” berupa seni suara
bernuansa sanjungan dan dorongan kepada seseorang. Dulu ada nyanyian untuk
mendorong para pejuang untuk bersemangat dalam perjuangan. Dideng ada juga
merupakan nyanyian sanjungan kepada para raja seperti Raja Sisingamangaraja dan
Raja Uti. Dalam versi lain ada juga ditujukan kepada anak-anak untuk rajin, berbudi
luhur.
Para petani dengan
menggunakan kerbau membajak dan meratakan tanah sering juga menggunakan irama
menyemangati “mitra kerjanya” itu. Mereka berkomunikasi Dengan kerbau itu tidak
mengandalkan cabuk saya,tapi dengan bahasa,dengan irama yang mengalun mirip
dengan “dideng” tapi tidak dalam bentuk nyanyian.
Didang tidak merupakan
seni suara,tapi merupakan sikap menyanjung seseorang. Seorang bayi dipangku dan
diayun pelahan disebut “mandidang”,kadang diiringi nyanyian untuk
meninabobokan. Dalam acara adat yang diiringi gondang,hulahula disambut dengan
tarian sambilmundur dapat diartikan “mandidang”. Gondang untuk itu biasanya
dari bagian “didang-didang” yang diciptakan beragam seperti “didang-didang”
parsaoran dan didang-didang parsinabul dll”
Doding ada dua bagian. Doding
yang merupakan kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati seseorang atau
kelompok orang. Yang kedua doding merupakan rangkaian kata-kata bentuk nyanyian
yang tujuan sama seperti diatas. Orangtua yang bertepuk tangan sambil bernyanyi
menyemangati anak yang belajar berdiri termsuk “mandoding”. Doding hampir sama
dengan Dideng,tapi untuk sanjungan untuk orang yang dihormatitidak disebut
“mandoding”.
Ende
Dalam permainan
Jotimg,diawali dengan penyesuaian komposisi suara pengiring/peserta hingga
mirip irama gondang atau irama yang sesuai dengan jenis joting yang akan
dimainkan. Bila komposisi suara itu sudah stabil, seseorang berdiri dan memulai
nyanyiannya. Kadang ketika ia bingung memulai, seseorang memberikan dorongan;
“Endehon…endehon” atau “Suan…suan”.
Semua syair yang
dinyanyikan oleh pemain joting dan tumbas disebut Ende.Oing juga sering disebut
Ende. Anak yang melantunkan dengan kata-kata sesuai kehendaknya disebut Ende-ende
Ni Boru.
Para seniman batak dahulu sering mengamati nyanyian seorang wanita dan dan
mereka membuat irama itu menjadi “Gonsi” (gondang). Kemudian muncullah gondang
dengan judul, seperti “Ende-ende Ni Bori Simbolon”. Kemudan irama ini dipoles
lagi menjadi “Pangelek-elek Ni Boru Simbolan”
Ende-endi Ni Boru
Naipos-pos juga dikenal pargonsi hingga saat ini dengan sebutan Gondang Ni Boru
Naipospos. Banyak Legenda gadis Batak dari berbagai Marga yang memiliki gondang
dari Ende-nya yang kemudian disebut menjadi Gondang-nya.
Seni suara dan gerak tari
dari suku Batak bini mulai punah seiring dengan hilangnya pemahaman dasar
tentang kesenian Batak lama. Gondang sering di klaim dengan unsur “Kesesatan”
seiring dengan itu kesenian lainpun dijauhkan.
Kemudian muncul keinginan
pengamat kesenian Batak unutuk mengembangkannya, namun tidak didasari dari akar
kesenian itu berasal. Misalnya “Tumba” yang menjadi acuan dan diperkuat dengan
seni Opera batak yang mempopulerkan tumba dalam pementasannya.
Tulisan yang bagus jika kita mahu melihat permainan gordang dan gonrang itu dimana
BalasHapus