Senin, 06 Mei 2013

Posted by Unknown |

Sumatra Utara adalah salah satu Provinsi yang didiami oleh suku bangsa majemuk atau heterogen. Sedikitnya ada 9 etnis yang mendiami daerah ini, yaitu: Melayu, Mandailing, Karo, Pak-Pak/Dairi, Nias, Jawa, Tamil, Toba, dan suku bangsa lain yang sudah lama tinggal di Sumatra Utara. Keanekaragaman ini membuat Sumatra Utara kaya akan Budaya dan Adat Istiadat dari setiap etnis ini.
Seperti kita tahu Sumatra Utara di tempati oleh multi-etnik, tentunya hal-hal ini berpengaruh pada jenis-jenis kesenian yang dimilikinya. Masing-masing etnis tetap mampertahankan keseniannya masing-masing. Walaupun terjadi persentuhan budaya, tetapi kita dapat membedakan jenis-jenis kesenian ini dari gaya, bentuk, melodi-melodinya. Walaupun  Toba, Pak-pak, Karo, Mandailing, termasuk kedalam suku Batak, tetapi kebudayaan musikal mereka sangat berbeda sekali.
Oleh karna itu dalam tulisan ini saya akan memperjelas perbedaan antara kebudayaan-kebudayaan ini, khususnya antara Musik Tradisional Toba, dan Pak-Pak/Dairi. Kami akan membahas jenis-jenis ansambel yang digunakan pada setiap etnisnya danjenis-jenis alat musik yang digunakan.

Musik Batak Toba

Karya Musik Vokal Batak Toba

Dalam peradabannya musik tradisional Batak Toba memiliki 6 macam bentuk karya musik vokal,yakni: Joting, Tumbas, Andung, Oing, Dideng-Didang-Doding dan Ende.

Joting

Joting adalah seni suara dengan syair beraturan dipadukan dan gerak yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seorang bernyanyi dan diiringi dengan irama koor kelompok sehingga teerdengar seperti suara gendang dan gong seperti “toh…tohhh,joing dagido….doh….doh….”. Kadang diselingi dengan kata “jolo ingot asa dok”.
Pada joting remaja biasanya terbagi dalam dua kelompok,laki-laki dan perempuan. Kedua kelompok ini menyesuaikan irama dan gerak dengan syair yang berisi pujian, sanjungan, ejekan, sindiran dari kedua kelompok. Ada upaya mengalahkan dalam permainan ini dalam penguasaan syair yang berbalasan.Joting ini juga disebut “Maralo-alo”.
Permainan joting, baik untuk generasi muda tidak bisa dilakukan dilakukan diluar halaman perkampungan, sehingga para orangtua ikut menyaksikan dari samping rumah masing-masing. Walau ada kalimat ejekan dan sindiran, tapi tidak bertujuan menghina dan merendahkan pihak lawan. Inti joting generasi muda adalah merayu dan mengajak pertemanan.
Pada daerah pesisir Danau Toba ada juga dikenal Joting Sulu Bolon.Joting ini dimainkan saat mendayung sampan besar yang berisi sekitar 12 orang. Seorang bernyanyi dan semua pengayuh menymbutnya dengan suara “olo baaaa”sambil mengayunkan dayungnya. Dengan joting ini mereka dapat mengesampingkan rasa lelah dan membangun kekompakkan.
Joting yang dimainkan para orangtua dan Joting Solu Bolon biasanya menggunakan syair menyambung hingga merupakan cerita kehidupan.Syair ini disebut “sidedeng”. Ada syair pembuka joting ini berkata :

“Tabo-tabo nin ulok da angkup ni dulang natata
Hatahon ma sededeng da nunga dampak angka raja.”

Sidedeng dalam Joting Solu Bolon dibawah ini adalah nyanyian “parluga” dari Pangururan menuju Tigaraja yang ditempuh hampir 5 jam.Kadang mereka berhenti melepas lelah di beberapa tempat seperti di Hatoguan dan Onanrunggu.Semua riwayat perjalanan mereka itu dinyanyikan dengan joting saat mendayung sampan.Kadang mereka menyanyikannya di halaman rumah pada bulan purnama untuk mengenang perjalanan mereka itu.
Nilugahon solu bolon                          Huhut marsisungkunan
Solu parsampulan                                Padomuhon Ta hi 
Manopinopi dolok                               Mangalului hangoluan
Sian tao ni Pangururan                        Nangnang ma manghatai
Binolus ma Simbolon                          dst…
Sahat ma disi
Huhut ma marnapuran

Tumbas

Joting pada umumnya dimainkan dengan duduk berkeliling dan bergantian pelantun lagu berdiri untuk bernyanyi. Tumbas mirip dengan joting tapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam sambil bernyanyi. Gerakan mereka didominasikan gerakan tortor, tapi ada kombinasi hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan nyanyian ini disebut TUMBAS sementara syair lagunya ada kata “tumba”. ”Tumba” adalah syairnya,”Embas” adalah gerakannya. Dalam permainan ini semakin berkembang kreasi “maralo-alo” dari joting dengan versi gerakan yang mengiringi syairnya yang berbalasan antara laki-laki dan perempuan.
Semakin lama permainan ini dipengaruhi dengan gerakan tari Melayu pada daerah perbatasan Toba dengan Sipirok. Mereka pun mulai dengan memadukan nyanyian melayu dalam permainan itu. Semakin lama mereka mempopulerkan permainan itu dengan sebutan TUMBA saja karena “embas” tortor batak semakin dihilangkan dan didominasi “joget” melayu.Dalam Tumba saat ini tidak ada lagi terlihat kesan Joting dan Tumbas yang dulunya sangat terkenal dengan berbalas pantun dalam nyanyian atau “maralo-alo”.

Andung

Andung adalah ratatapan. Barang tentu nuansanya adalah kesedihan. ”Tangis”dapat saja dengan mencucurkan air mata dengan iringan kata-kata yang bebas.”Angguk” adalah ratapan yang bernuansa histeris. Bila tangisannya diiringi dengan suara yang menggelegar dengan hempasan tubuh sembarangan disebut ”Angguk Bobar”
Andung sangat berbeda dengan kedua tangisan itu.Andung dapat membuat orang yang mendengarnya terpana, terpesona, terpancing untuk meneteskan air mata. Pengandung yang lihai biasanya menutupi kepalanya dengan ulos sehingga tidak dapat diketahui mimik wajahnya ataupun kemungkinannya meneteskan air mata. Walau tidak terikat dengan syair yang beraturan,bahasa andung sangat spesial dan jarang diucapkan dalam bahasa sehari-hari. Andung adalah perpaduan Tangis,Oing dengan sisipan “anggis” berupa jeritan suara sebagai sela antara kalimat andung.

Oing

Oing mirip dengan nyanyian sinden Jawa. Namun oing ini kebanyakan mengutarakan suka-duka dan pengharapan. Biasanya dinyanyikan perlahan dan dalam kesendirian. Saya pernah mendengar nenek saya “maroing” pada tengah malam sambil “manirat” ulos. ”Ompung Doli” saya dari ibu pernah juga saya dengar “maroing” saat merajut “hirang” (keranjang). Oing mirip dengan andung tapi tonenya agak rendah. Oing sering menjadi selipan pada seni ”marturiturian” (bercerita).

Dideng-Didang-Doding

“Dideng” berupa seni suara bernuansa sanjungan dan dorongan kepada seseorang. Dulu ada nyanyian untuk mendorong para pejuang untuk bersemangat dalam perjuangan. Dideng ada juga merupakan nyanyian sanjungan kepada para raja seperti Raja Sisingamangaraja dan Raja Uti. Dalam versi lain ada juga ditujukan kepada anak-anak untuk rajin, berbudi luhur.
Para petani dengan menggunakan kerbau membajak dan meratakan tanah sering juga menggunakan irama menyemangati “mitra kerjanya” itu. Mereka berkomunikasi Dengan kerbau itu tidak mengandalkan cabuk saya,tapi dengan bahasa,dengan irama yang mengalun mirip dengan “dideng” tapi tidak dalam bentuk nyanyian.
Didang tidak merupakan seni suara,tapi merupakan sikap menyanjung seseorang. Seorang bayi dipangku dan diayun pelahan disebut “mandidang”,kadang diiringi nyanyian untuk meninabobokan. Dalam acara adat yang diiringi gondang,hulahula disambut dengan tarian sambilmundur dapat diartikan “mandidang”. Gondang untuk itu biasanya dari bagian “didang-didang” yang diciptakan beragam seperti “didang-didang” parsaoran dan didang-didang parsinabul dll”
Doding ada dua bagian. Doding yang merupakan kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati seseorang atau kelompok orang. Yang kedua doding merupakan rangkaian kata-kata bentuk nyanyian yang tujuan sama seperti diatas. Orangtua yang bertepuk tangan sambil bernyanyi menyemangati anak yang belajar berdiri termsuk “mandoding”. Doding hampir sama dengan Dideng,tapi untuk sanjungan untuk orang yang dihormatitidak disebut “mandoding”.

Ende

Dalam permainan Jotimg,diawali dengan penyesuaian komposisi suara pengiring/peserta hingga mirip irama gondang atau irama yang sesuai dengan jenis joting yang akan dimainkan. Bila komposisi suara itu sudah stabil, seseorang berdiri dan memulai nyanyiannya. Kadang ketika ia bingung memulai, seseorang memberikan dorongan; “Endehon…endehon” atau “Suan…suan”.
Semua syair yang dinyanyikan oleh pemain joting dan tumbas disebut Ende.Oing juga sering disebut Ende. Anak yang melantunkan dengan kata-kata sesuai kehendaknya disebut Ende-ende Ni Boru.
Para seniman batak dahulu sering mengamati nyanyian seorang wanita dan dan mereka membuat irama itu menjadi “Gonsi” (gondang). Kemudian muncullah gondang dengan judul, seperti “Ende-ende Ni Bori Simbolon”. Kemudan irama ini dipoles lagi menjadi “Pangelek-elek Ni Boru Simbolan”
Ende-endi Ni Boru Naipos-pos juga dikenal pargonsi hingga saat ini dengan sebutan Gondang Ni Boru Naipospos. Banyak Legenda gadis Batak dari berbagai Marga yang memiliki gondang dari Ende-nya yang kemudian disebut menjadi Gondang-nya.

Seni suara dan gerak tari dari suku Batak bini mulai punah seiring dengan hilangnya pemahaman dasar tentang kesenian Batak lama. Gondang sering di klaim dengan unsur “Kesesatan” seiring dengan itu kesenian lainpun dijauhkan.
Kemudian muncul keinginan pengamat kesenian Batak unutuk mengembangkannya, namun tidak didasari dari akar kesenian itu berasal. Misalnya “Tumba” yang menjadi acuan dan diperkuat dengan seni Opera batak yang mempopulerkan tumba dalam pementasannya.


1 komentar:

  1. Tulisan yang bagus jika kita mahu melihat permainan gordang dan gonrang itu dimana

    BalasHapus