A.
Pengertian
Eksistensialisme
Eksistensialisme
yaitu suatu usaha untuk menjadikan masalah menjadi konkret karena adanya
manusia dan dunia. Menurut Sartre eksistensialisme yaitu filsafat yang memberi
penekanan eksistensi yang mendahului esensi. Memandang segala gejala yang ada
berpangkal kepada eksistensi. Dengan adanya eksistensi akan penuh dengan
lukisan-lukisan yang konkret dengan metode fenomenologi (cara keberadaan
manusia).
Eksistensi
sendiri yaitu eks artinya keluar, sintesi artinya berdiri; jadi eksistensi
adalah berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins liegh in seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari kata “da”
yang berarti disana dan “sein” yang berarti berada. Jadi artinya manusia sadar
dengan tempatnya. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “
a etre” yang artinya manusia itu tidak hanya ada tetapi dia selamanya harus
dibentuk tidak henti-hentinya.
Menurut
Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi 2, yaitu; bersifat
theistic(bertuhan) dan atheistic. Menurut eksistensialisme sendiri ada 3 jenis;
tradisional, spekulatif dan skeptif.
Eksistensialisme
sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme
adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh
manusia.
Eksistensi
merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu. Apapun yang
bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika sesuatu itu
bersifat public yang artinya objek itu sendiri harus dialami oleh banyak orang
yang melakukan pengamatan
Seperti
juga halnya, perasaan anda yang tertekan tidak bereksistensi, meskipun perasaan
itu nyata ada dan terjadi dalam diri anda. Apa yang bersifat public kiranya
selalu menempati ruang dan terjadi dalam
waktu. Oleh karena itu eksistensi sering dikatakan berkenaan dengan objek-objek
yang merupakan kenyataan dalam ruang dan waktu.
B. Sejarah Eksistensialisme
Sejarah
munculnya eksistensialisme yaitu pertama istilah ini dirumuskan oleh ahli
filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Akar metodelogi
eksistensialisme ini berasal dari fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund
husserl (1859-1938).
Sedangkan
munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran
Kierkegaard dan Neitzche. Kierkegaard seorang filsafat Jerman (1813-1855)
filsafatnya untuk menjawab pertannyaan mengenai pertannyaan “Bagaimanakah aku
menjadi seorang individu?” dia juga menerima prinsip Socrates yang mengatakan
bahwa” pengetahuan akan diri adalah pengetahuan akan Tuhan” . Hal ini terjadi
karena pada saat itu terjadi krisis eksistensialisme (manusia melupakan
individualitasnya), sehingga manusia bisa menjadi manusia yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Neitzche,
juga filsuf Jerman (1844-1900) yang tujuan filsafatnya menjawab pertannyaan ”
Bagaimana menjadi manusia unggul?” dan menurut dia jawabannya adalah manusia
bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai keberaniaan untuk merealisasikan
diri secara jujur dan berani.
Kedua
tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada
saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia
seperti yang sudah dijelaskan diatas.
Disamping
itu penyebab munculnya filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi
terhadap filsafat materialisme Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia
bukan sesuatu yang primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi
manusia sebagai yang konkret dan subjektiv karena mereka hanya memandang
manusia menurut materi atau ide dalam rumusan dan system-sistem umum
(kolektivitas social).
Pengaruh
lahirnya filsafat eksistensialisme berasal dari filsafat hidup bergson dan
Metafisika Modern. Filsafat ini muncul pada paruh pertengahan abad ke-20.
Terdapat beberapa tokoh Eksistensialisme diantaranya adalah Jean Paul Sartre
(1905-1980).
C. Tokoh Eksistensialisme - Jean
Paul Sartre
Jean
P. Sartre dilahirkan di Paris, Prancis, 21 Juni 1905, Sartre adalah filsuf dan
penulis Prancis yang namanya tetap terkenal hingga saat ini. Ia meraih gelar
doktor di bidang filsafat, dan kemudian mengajar di bidang tersebut selama
beberapa tahun. Setelah Perang Dunia II, Sartre meninggalkan pekerjaannya
sebagai pengajar, dan mengabdikan hidupnya untuk menulis.
Sartre
telah menjadi yatim sejak berusia dua tahun, dan sejak itu ia diasuh oleh
kakeknya, Charles Schweitzer, yang kelak memiliki pengaruh besar dalam pemikiran
dan perkembangan bakat menulis Sartre. Sebagaimana kakeknya, Sartre
menertawakan segala sesuatu yang bersifat religius. Semenjak berusia 12 tahun,
ia sudah tidak mengakui keberadaan Tuhan. Dunianya adalah perpustakaan
kakeknya.
Pada
tahun 1924, Sartre diterima di Ecole Normale Superieure, perguruan tinggi
paling terkenal dan paling selektif di Prancis. Tahun 1929 ia lulus dengan
predikat Agregation de Philosophie nomor satu. Sejak tahun 1931, Sartre
mengajar sebagai guru filsafat di Le Havre, Loan, dan Paris.
Pada
22 Oktober 1964, Sartre dianugerahi Nobel Sastra, namun dia menolak, dengan
alasan hadiah itu akan menurunkan integritas karya-karyanya.
Sartre
menikah dengan pemikir wanita yang juga terkenal, bernama Simone de Beauvoir.
Ia meninggal dunia pada 15 April 1980, di sebuah rumah sakit di Broussais,
Paris, dan upacara pemakamannya dihadiri sekitar 50.000 orang.
Sepanjang
hidupnya, Sartre telah menulis banyak pemikiran penting, di antaranya adalah
“Being and Nothingness”, “L’Imagination”, “Morts sans Sépulture”, dan
“L’Imaginaire”. Sementara autobiografinya berjudul “Les Mots”.
Pandangan Jean Paul Sartre Mengenai
Eksistensialisme
Pada
awal dilancarkan tuduhan dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier,
bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-hal yang memalukan, yang
rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan
Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari
kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas
dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah
Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya
sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya,
bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai. Ada lagi
yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal
solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan
ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya
pada subjektivitas murni seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan
cogito-nya—karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup
menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun,
Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut. Pertama, ia sendiri juga
menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar
untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga
istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna
meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama
Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang
menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme
juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap
tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas
manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan
a human universality of condition. Dua definisi yang baru saja disebut di sini
hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang
eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir)
mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif.
Secara
sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan
maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca
untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat
pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di
benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya.
Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan
(formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan
definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain,
produksinya mendahului eksistensinya
Sekali
lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului
esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai
dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah
itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat
bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia
itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba
saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak
ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai
konsepsi tentang dia (manusia).
Mengenai
subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana
dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam
pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat
yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang
dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis—-bahwa manusia adalah
manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan
bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi
itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa
dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu
bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia
memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal
ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya
sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia.
Untuk
menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian
yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa
manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity).
Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari
eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada
kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan
menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian
banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih
antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari
apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih
baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua.
Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini.
Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu
keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua
dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu
tentang humanisme.
Humanisme
dalam pandangan Sartre berbeda dengan humanisme yang sudah ada sebelumnya. Dalam
pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah
digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya.
Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena
masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia
itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan
manusia yang dilanggengkan. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di
level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Pengertian
humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk
yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk
yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih
obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah
yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian
bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing).
Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian
bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam
semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini
disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi
dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi
dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan
mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau
sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya
adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari
eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak
ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam
terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu
optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk
ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk
bertindak secara konkret dalam dunia
nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.
0 komentar:
Posting Komentar