Senin, 10 Juni 2013

Posted by Unknown |

A.    Pengertian Eksistensialisme

Eksistensialisme yaitu suatu usaha untuk menjadikan masalah menjadi konkret karena adanya manusia dan dunia. Menurut Sartre eksistensialisme yaitu filsafat yang memberi penekanan eksistensi yang mendahului esensi. Memandang segala gejala yang ada berpangkal kepada eksistensi. Dengan adanya eksistensi akan penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret dengan metode fenomenologi (cara keberadaan manusia).

Eksistensi sendiri yaitu eks artinya keluar, sintesi artinya berdiri; jadi eksistensi adalah berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins liegh in seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari kata “da” yang berarti disana dan “sein” yang berarti berada. Jadi artinya manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “ a etre” yang artinya manusia itu tidak hanya ada tetapi dia selamanya harus dibentuk tidak henti-hentinya.

Menurut Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi 2, yaitu; bersifat theistic(bertuhan) dan atheistic. Menurut eksistensialisme sendiri ada 3 jenis; tradisional, spekulatif dan skeptif.

Eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. 

Eksistensi merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu. Apapun yang bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika sesuatu itu bersifat public yang artinya objek itu sendiri harus dialami oleh banyak orang yang melakukan pengamatan

Seperti juga halnya, perasaan anda yang tertekan tidak bereksistensi, meskipun perasaan itu nyata ada dan terjadi dalam diri anda. Apa yang bersifat public kiranya selalu menempati  ruang dan terjadi dalam waktu. Oleh karena itu eksistensi sering dikatakan berkenaan dengan objek-objek yang merupakan kenyataan dalam ruang dan waktu.


B. Sejarah Eksistensialisme

Sejarah munculnya eksistensialisme yaitu pertama istilah ini dirumuskan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Akar metodelogi eksistensialisme ini berasal dari fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund husserl (1859-1938).

Sedangkan munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran Kierkegaard dan Neitzche. Kierkegaard seorang filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertannyaan mengenai pertannyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu?” dia juga menerima prinsip Socrates yang mengatakan bahwa” pengetahuan akan diri adalah pengetahuan akan Tuhan” . Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensialisme (manusia melupakan individualitasnya), sehingga manusia bisa menjadi manusia yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen pribadi dalam kehidupan.

Neitzche, juga filsuf Jerman (1844-1900) yang tujuan filsafatnya menjawab pertannyaan ” Bagaimana menjadi manusia unggul?” dan menurut dia jawabannya adalah manusia bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai keberaniaan untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.

Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia seperti yang sudah dijelaskan diatas.

Disamping itu penyebab munculnya filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi terhadap filsafat materialisme Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia bukan sesuatu yang primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi manusia sebagai yang konkret dan subjektiv karena mereka hanya memandang manusia menurut materi atau ide dalam rumusan dan system-sistem umum (kolektivitas social).

Pengaruh lahirnya filsafat eksistensialisme berasal dari filsafat hidup bergson dan Metafisika Modern. Filsafat ini muncul pada paruh pertengahan abad ke-20. Terdapat beberapa tokoh Eksistensialisme diantaranya adalah Jean Paul Sartre (1905-1980).

 

C. Tokoh Eksistensialisme - Jean Paul Sartre

Jean P. Sartre dilahirkan di Paris, Prancis, 21 Juni 1905, Sartre adalah filsuf dan penulis Prancis yang namanya tetap terkenal hingga saat ini. Ia meraih gelar doktor di bidang filsafat, dan kemudian mengajar di bidang tersebut selama beberapa tahun. Setelah Perang Dunia II, Sartre meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar, dan mengabdikan hidupnya untuk menulis.

Sartre telah menjadi yatim sejak berusia dua tahun, dan sejak itu ia diasuh oleh kakeknya, Charles Schweitzer, yang kelak memiliki pengaruh besar dalam pemikiran dan perkembangan bakat menulis Sartre. Sebagaimana kakeknya, Sartre menertawakan segala sesuatu yang bersifat religius. Semenjak berusia 12 tahun, ia sudah tidak mengakui keberadaan Tuhan. Dunianya adalah perpustakaan kakeknya.

Pada tahun 1924, Sartre diterima di Ecole Normale Superieure, perguruan tinggi paling terkenal dan paling selektif di Prancis. Tahun 1929 ia lulus dengan predikat Agregation de Philosophie nomor satu. Sejak tahun 1931, Sartre mengajar sebagai guru filsafat di Le Havre, Loan, dan Paris.

Pada 22 Oktober 1964, Sartre dianugerahi Nobel Sastra, namun dia menolak, dengan alasan hadiah itu akan menurunkan integritas karya-karyanya.

Sartre menikah dengan pemikir wanita yang juga terkenal, bernama Simone de Beauvoir. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980, di sebuah rumah sakit di Broussais, Paris, dan upacara pemakamannya dihadiri sekitar 50.000 orang.

Sepanjang hidupnya, Sartre telah menulis banyak pemikiran penting, di antaranya adalah “Being and Nothingness”, “L’Imagination”, “Morts sans Sépulture”, dan “L’Imaginaire”. Sementara autobiografinya berjudul “Les Mots”.

Pandangan Jean Paul Sartre Mengenai Eksistensialisme

Pada awal dilancarkan tuduhan dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-hal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai. Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya—karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.

Namun, Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut. Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif.

Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya

Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).

Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis—-bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia.

Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.

Humanisme dalam pandangan Sartre berbeda dengan humanisme yang sudah ada sebelumnya. Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.

Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak  secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.

0 komentar:

Posting Komentar